Ketua KPU Terancam di "Nepalkan," Peringatan Netizen ke Afifuddin di Tengah Kontroversi Ijazah

Ketua KPU Terancam di "Nepalkan," Peringatan Netizen ke Afifuddin di Tengah Kontroversi Ijazah

JAKARTA, LELEMUKU.COM - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin menghadapi gelombang kritik yang semakin memanas, dengan ancaman "nepalkan" ala protes Gen Z Nepal yang kini menjadi metafora kegelisahan publik Indonesia. 

Istilah "nepalkan" merujuk pada aksi radikal dan vulgar demonstran muda Nepal yang menyerang pejabat korup dengan membakar rumah, merusak gedung pemerintah, dan penghakiman brutal, seperti yang terjadi sejak 4 September 2025 di Kathmandu. 

Kontroversi keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang kerahasiaan ijazah capres-cawapres, yang dibatalkan pada Selasa (16/9/2025), kini dikhawatirkan memicu reaksi serupa dari generasi muda Indonesia jika transparansi pemilu tidak segera dipulihkan.

Protes Gen Z Nepal, yang menewaskan 51 orang dan melukai 1.300 lainnya, bermula dari larangan 26 platform media sosial seperti Facebook, X, YouTube, dan WhatsApp oleh pemerintah pada 4 September 2025, dianggap upaya membungkam kritik terhadap korupsi dan nepotisme. 

Eskalasi terjadi pada 8 September ketika polisi menembak demonstran, memicu pembalasan: massa membakar parlemen, markas Nepali Congress, dan rumah mantan Perdana Menteri Sher Bahadur Deuba—di mana istrinya tewas terbakar hidup-hidup. 

Demonstran, usia 13-28 tahun, meneriakkan slogan seperti "Nepo kids harus dibakar!" sambil merusak properti mewah dan memaksa pejabat berlutut di jalan, dilempari barang busuk. 

Perdana Menteri K.P. Sharma Oli mengundurkan diri pada 9 September, digantikan pemerintahan sementara Sushila Karki pada 12 September, dengan kompensasi 1 juta rupee Nepal (Rp 110 juta) untuk keluarga korban. PBB melalui Volker Türk mengecam kekerasan tersebut sebagai "bukan jawaban", sementara Amnesty International memperingatkan pelanggaran HAM.

Di Indonesia, "nepalkan" menjadi peringatan bagi Afifuddin setelah ia menandatangani Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 pada 21 Agustus 2025, yang mengklasifikasikan 16 dokumen capres dan cawapres, termasuk ijazah sebagai informasi rahasia, hanya boleh dibuka dengan persetujuan tertulis. 

Keputusan ini menuai tuduhan melindungi tokoh tertentu, seperti dugaan ijazah palsu Jokowi, meski Afifuddin membantahnya. 

Kritik datang dari Komisi II DPR, elite PDIP, dan legislator Golkar, yang menilai langgar Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008. Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan bahkan bertanya apakah aturan itu untuk "menyimpan informasi" ijazah Jokowi.

Pembatalan keputusan pada 16 September 2025 dilakukan setelah rapat internal KPU mendengar aspirasi publik, dengan Afifuddin menyatakan akan kembali ke aturan lama sambil berkoordinasi lebih lanjut. 

Namun, aktivis memperingatkan bahwa isu ini bisa memicu aksi Gen Z Indonesia mirip Nepal. Jika transparansi pemilu diabaikan, 'nepalkan' ala Kathmandu bisa terjadi di Jakarta dari demo damai jadi vandalisme brutal.

Afifuddin, lahir di Sidoarjo pada 1 Februari 1980, lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan magister UI, memiliki rekam jejak sebagai aktivis demokrasi sejak Pemilu 1999. (evu)

Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Lelemuku.com di Grup Telegram Lelemuku.com. Klik link https://t.me/lelemukucom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.


Lelemuku.com - Cerdaskan Anak Negeri


Artikel Terkini Lainnya