Suara Cenderawasih pada Mahkota yang Dibakar
![]() |
| Awetan cenderawasih yang diamankan dari penyeludup di Pelabuhan Laut Jayapura | Foto : BBKSDA Papua |
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Peristiwa pembakaran opsetan burung cenderawasih dan hiasan kepala (headband) bulu cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua pada 21 Oktober lalu telah memicu gelombang kemarahan yang meluas, menyentuh inti terdalam identitas masyarakat adat Papua.
Tindakan yang secara hukum dibenarkan sebagai pemusnahan barang bukti dinilai oleh masyarakat Papua sebagai pelanggaran etika dan penghinaan terhadap simbol budaya yang paling sakral.
Tokoh adat di Tanah Tabi dan Saireri, akademisi konservasi, hingga pejabat tinggi daerah, bersepakat bahwa hukum konservasi harus berjalan seimbang dengan penghormatan terhadap nilai lokal. Mereka menuntut adanya payung hukum baru, yaitu Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mampu menjembatani jurang pemisah antara penegakan hukum dan pelestarian jati diri orang Papua.
Bagi masyarakat adat di Papua, burung bernama latin Paradisaeidae ini punya arti “makhluk dari surga”, memiliki kedudukan yang jauh melampaui sekadar satwa langka dilindungi. Ia adalah lambang kehormatan, kebesaran, dan bahkan merupakan penjelmaan leluhur mereka.
Ketua Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Port Numbay George Awi menjelaskan, menurut cerita moyang di wilayahnya, cenderawasih lahir dari seorang perempuan yang mereka anggap sebagai keluarga kandung.
"Cenderawasih lahir dari seorang perempuan, saudara perempuan kami, mereka adalah bagian dari kami," ceritanya sambil mengenang masa kecilnya ketika cenderawasih terbang rendah setiap pagi di Kampung Nafri di Teluk Youtefa, Kota Jayapura.
Mahkota dari bulu burung ini bukan aksesori biasa, ia sakral, hanya boleh dipakai ondofolo (pemimpin adat) saat penobatan. Ketika ondofolo terpilih dan berhak memakai mahkota, artinya moyang-moyang sudah merestui dan mengakuinya sebagai pemimpin yang memiliki otoritas dan hubungan langsung dengan moyang dan alam. Bahkan, jika ondofolo berbicara, masyarakat meyakininya sebagai moyang yang sedang berbicara.
"Saat dimahkotai, artinya moyang sudah merestui. Ondofolo punya hubungan langsung dengan moyang dan alam," tambahnya.
Namun, komersialisasi telah merayap masuk. George mengakui, dulu mereka tak pernah berburu cenderawasih untuk dijual, tetapi sekarang orang luar datang dan berburu satwa unik tersebut menggunakan senjata api.
"Untuk adat murni, seperti penobatan ondofolo, cukup satu ekor saja, itu masih kami izinkan. Tapi perburuan untuk jual beli yang mengarah pada kepunahan tidak boleh," katanya tegas.
Senada dengan itu, Ketua Forum Masyarakat Adat Tabi Saireri, Ismail Mebri, menyatakan bahwa nilai sakral burung cenderawasih, baik hidup maupun mati, dianggap setara dalam adat.
Di wilayah adat Tabi, burung yang dalam bahasa Sentani berarti “hiyake” ini dipercaya sebagai penjelmaan salah satu moyang mereka, tepatnya anak raja dari leluhur suku Tabi. Oleh karena itu, mahkota bulu cenderawasih secara turun-temurun hanya boleh dipakai oleh ondofolo atau ondoafi di wilayah Tabi yang membentang dari Kabupaten Keerom hingga Kabupaten Mamberamo Raya, serta wilayah adat Saireri yang terdiri dari Kabupaten Supiori, Biak Numfor, Kabupaten Yapen dan Waropen.
"Di seluruh wilayah adat Tabi Saireri yang boleh memakai mahkota cenderawasih hanya kepala suku atau ondofolo ondoafi. Tidak boleh sembarang orang," katanya.
Ia menjelaskan bahwa di wilayah adat Tabi Saireri, cara membuat mahkota burung yang dalam bahasa sentani adalah yo hiyakhe ini dilakukan dengan mengumpulkan bulu berwarna kuning keemasan yang jatuh alami di tengah hutan rimba yang hijau, bukan diburu.
“Dulu orang tua kami tidak pernah berburu cenderawasih. Bulu yang dipakai itu bulu yang jatuh sendiri di hutan, lalu dikumpulkan dan diserahkan kepada ondofolo,” tutur dia.
Ia juga menceritakan kisah yang tidak terlupakan oleh keluarganya tentang kehadiran burung cenderawasih.
“Saya sendiri pernah mengalami hal yang luar biasa. Tahun 2003, sebelum almarhum Bapak Theys Hiyo Eluay meninggal, ada cenderawasih datang setiap pagi jam 7 ke rumah kami di depan dermaga. Kalau bapak saya duduk di teras, burung itu hinggap di tangannya 15–20 menit, lalu terbang lagi. Bapak saya bilang, “Jangan ditangkap, biarkan saja.” Itu berlangsung tiga sampai empat hari, lalu kami mendengar kabar Bapak Theys wafat,” kisahnya.
![]() |
| Prof. Hanggar Budi Prasetyo, Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua |
Sementara itu, Prof. Hanggar Budi Prasetyo, Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua, menegaskan bahwa cenderawasih dan mahkota cenderawasih adalah lambang kebesaran dan ekspresi budaya tertinggi di Papua.
“Mahkota cenderawasih adalah lambang kehormatan yang hanya boleh dipakai oleh tokoh-tokoh tertentu sesuai aturan adat yang sangat ketat. Selama digunakan secara terbatas dan sesuai adat, itu justru menjaga nilai sakralnya,” jelas dia.
Prof. Hanggar menambahkan, penggunaan ornamen mahkota cenderawasih untuk keperluan adat mempertegas nilai kebesarannya, asalkan digunakan secara terbatas dan sesuai aturan adat yang ketat.
“Yang mengancam kepunahan adalah penggunaan secara masif di luar adat. Kalau semua orang memakainya, barulah bahaya,” kata dia.
Luka Adat di Tengah Api Pemusnahan
Peristiwa pembakaran opsetan cenderawasih dan barang bukti lainnya oleh BBKSDA Papua pada Oktober 2025 lalu memicu reaksi keras dari masyarakat karena dianggap sebagai penghinaan kultural.
George Awi mengungkapkan kemarahannya yang mendalam, menyebut kata "bakar" itu sendiri sudah penghinaan besar. Ia menyamakan tindakan membakar mahkota itu dengan membakar dan membunuh keluarganya sendiri, karena benda sakral itu diperlakukan layaknya sampah.
"Membakar artinya memperlakukan seperti sampah. Ini sama saja membakar saudara perempuan kami,” kata dia.
Pensiunan Dinas Kominfo Provinsi Papua ini bahkan sempat mengusir Kepala BBKSDA yang datang meminta maaf, menuntut agar pejabat tinggi belajar budaya Papua sebelum bertugas di sana.
Ia juga secara tegas membantah klaim BKSDA yang mengatakan bahwa pembakaran dilakukan atas permintaan masyarakat penjual untuk transparansi, menyebutnya sebagai penipuan yang menginjak-injak harga diri orang Papua.
Meski marah, George yang dipercaya mewakili masyarakat adat Port Numbay itu menerima permintaan maaf itu karena ajaran agama yang menekankan adanya pengampunan.
"Kesalahan boleh terjadi, tapi jadikan pelajaran,” ucap Awi.
![]() |
| Ketua Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Port Numbay George Awi (kiri) dan Ketua Forum Masyarakat Adat Tabi Saireri, Ismail Mebri (kanan) |
Ismail Mebri menggambarkan bahwa pembakaran tersebut sangat melukai hati semua masyarakat adat, dan ini adalah pertama kali dalam sejarah mahkota kebesaran mereka dibakar.
“Pembakaran mahkota melukai hati, sama dengan membakar jati diri kami,” katanya di kediamannya di Kampung Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura.
Bagi masyarakat Tabi, membakar cenderawasih sama dengan membakar harga diri dan jati diri orang Papua, dan mahkota itu dianggap sangat sakral, seperti rambut di kepala. Ismail Mebri menyesalkan tidak ada sosialisasi sebelumnya kepada masyarakat adat, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua.
Saat video pembakaran viral di media sosial, Ismail bergerak cepat, ia menggagas pertemuan darurat antara masyarakat Adat Tabi - Saireri dengan beberapa anggota MRP guna menyusun tuntutan, seperti sanksi adat dan denda. Di sisi lain, ia juga proaktif meredam emosi.
"Kami tidak mau situasi memanas. Ini pukulan yang menyadarkan kita perlu Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) untuk melindungi cenderawasih sambil tetap menghormati adat,” tegasnya.
Bagi mereka, tindakan pemerintah seperti pembakaran adalah kurang peka terhadap nilai budaya. Namun, bukan untuk menyalahkan, melainkan ajakan mendengar.
Menyikapi hal ini, Nelince Wamuar Rollo, Ketua MRP Provinsi Papua, sangat menyesalkan cara pemusnahan yang dipublikasikan dengan cara dibakar di depan kamera sambil tertawa-tawa, yang dianggap sangat menyakitkan hati.
"Kenapa tidak koordinasi dulu dengan MRP atau adat? Kami bisa simpan di kantor MRP agar indah, tak dijual lagi," sesalnya saat diwawancara melalui seluler.
Nelince Wamuar Rollo juga menegaskan bahwa mahkota cenderawasih adalah simbol jati diri, simbol kebanggaan, dan simbol harga diri orang Papua. Sehingga ia mengusulkan kepada BKSDA agar tetap tegas mengawasi penjualan sehingga menghentikan aktivitas perdagangan burung cenderawasih dengan berbagai alasan.
"Pelajaran buat pemburu: stop! Jangan sampai anak-cucu hanya dengar cerita burung surga," imbau istri dari Abisai Rollo, Walikota Jayapura saat ini.
Tidak dapat dipungkiri, tindakan yang dilakukan BKSDA sangat melukai hati masyarakat, khususnya masyarakat Papua. BKSDA menyampaikan bahwa aksi itu merupakan upaya untuk menyikapi perdagangan satwa liar.
“Tidak ada maksud menghina atau merendahkan adat sedikit pun,” ujar Kepala Seksi KSDA Wilayah IV Sarmi Rian Agustina mewakili Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso, saat diwawancara Garda Animalia, Jumat (27/10/2025).
Dalam peristiwa itu, BBKSDA Papua memusnahkan 54 opsetan barang bukti perdagangan ilegal satwa liar yang didapatkan usai patroli pengawasan terpadu di beberapa wilayah di Papua pada 15–17 Oktober 2025. Dari hasil patroli tersebut, BBKSDA Papua menemukan 58 ekor satwa liar dalam keadaan hidup dan 54 opsetan.
Sebagai rincian, opsetan yang diamankan dalam patroli terpadu ini terdiri dari 3 opsetan burung cendrawasih kecil (Paradisaea minor), 3 opsetan kepala atau paruh burung julang papua (Rhyticeros plicatus), 2 opsetan kaki kuskus totol hitam atau kuskus bohai (Spilocuscus rufoniger), 8 opsetan mahkota burung cendrawasih kecil (Paradisaea minor), dan 20 opsetan mahkota bulu burung kasuari gelambir-tunggal (Casuarius unappendiculatus).
Selain dianggap upaya terbaik dalam menyikapi perdagangan satwa dilindungi, Rian mengatakan, pembakaran barang bukti adalah permintaan para pedagang atau pemilik barang.
“Mereka juga bersikeras akan tetap menjual. Selain itu, mereka meminta agar mahkota cenderawasih yang sudah diamankan oleh kantor agar segera dimusnahkan (dibakar hari itu juga), karena mereka takut barang-barang tersebut akan disalahgunakan, misalnya dijual kembali atau dicuri oleh pihak lain. Karena alasan itu, mereka menuntut agar barang bukti dimusnahkan,” ujar Rian.
Dalam wawancara itu, pihak BBKSDA Papua juga menyesalkan reaksi-reaksi berlebihan yang ditunjukkan pihak lain saat proses pemusnahan, seperti canda tawa dan sempat dikenakannya mahkota cendrawasih.
Peristiwa ini pun menjadi evaluasi mereka dalam menangani barang bukti ke depan.
![]() |
| Prof. Ani Mardiastuti, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University dan Hendra Kurniawan Maury, Dosen Biologi dari Fakultas MIPA, Universitas Cenderawasih (Uncen), |
Pemusnahan yang Sia-Sia dan Bahaya Permintaan Pasar
Dari sudut pandang konservasi dan akademisi, kebijakan pemusnahan barang bukti melalui pembakaran dinilai tidak efektif dan merugikan aset negara.
Prof. Ani Mardiastuti, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menyayangkan pemusnahan tersebut. Menurutnya, mahkota itu merupakan hasil buruan cenderawasih yang sangat berharga, langka, dan susah ditemui. Ia berpandangan bahwa pemusnahan itu tidak efektif, bahkan bisa dibilang sia-sia, membuat negara rugi dua kali.
“Saya meneliti cenderawasih kuning besar dan itu memang sudah sulit ditemui. Jadi kalau saya melihatnya, sayang sekali, karena memang susah. Susah ketemu sampel, spesimen itu sudah susah ketemu,” ucapnya.
Prof. Ani menekankan, barang berharga seperti opsetan cenderawasih jangan disamakan dengan narkoba yang memang harus dimusnahkan. Sebaliknya, spesimen sitaan seharusnya diberikan ke perguruan tinggi, sekolah, museum, atau BRIN untuk dimanfaatkan sebagai media edukasi dan penelitian. Jika semua dimusnahkan, generasi berikutnya akan kehilangan jejak dan tidak tahu lagi bentuk aslinya.
“Headband seperti itu juga bisa dijadikan bahan belajar. Biasanya kan dicampur kerang, bulu cenderawasih, atau bulu kasuari. Itu bisa menjadi sarana untuk mengenalkan keragaman budaya Papua,” sebut dia.
Hendra Kurniawan Maury, Dosen Biologi dari Fakultas MIPA, Universitas Cenderawasih (Uncen), setuju bahwa pemusnahan barang bukti diperlukan, tetapi pemerintah harus jeli mempertimbangkan nilai budayanya. Alternatifnya adalah menghibahkannya ke lembaga atau institusi terkait agar tetap bermanfaat.
“Kepada pemerintah, jangan hanya menegakkan hukum secara kaku karena ada daftar satwa dilindungi. Lihat juga nilai budaya yang melekat pada satwa tersebut. Penegakan hukum harus diiringi penghormatan terhadap nilai budaya lokal yang sudah menjaga satwa itu ratusan tahun sebelum negara ini ada,” papar dia.
Dari sisi konservasi, Hendra Maury menjelaskan kalau perburuan terhadap 37 spesies burung cenderawasih yang mendiami Pulau Papua, mulai dari dataran rendah hingga 2.100 mdpl ini dapat berdampak pada ekosistem alam.
"Burung cenderawasih adalah pemakan serangga dan buah, peran ekologisnya pada kendali populasi serangga dan sebar biji. Jika populasi menurun, ekosistem hutan terganggu." papar dia.
Risiko dari perburuan ini adalah perdagangan ilegal terus berlanjut dan berdampak pada populasi yang punah.
“Kalau merujuk status IUCN, cenderawasih kuning kecil masih masuk kategori least concern, artinya secara global populasinya masih tergolong stabil. Namun secara lokal, di daerah-daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan tekanan terhadap hutan besar, kita harus masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk bisa menemukan spesies ini. Itu menunjukkan adanya tekanan perburuan dan kerusakan habitat yang lebih tinggi di kawasan padat penduduk. Permintaan pasar itulah yang menjadi pemicu utama perburuan hingga sekarang, bukan kebutuhan adat. Karena kebutuhan adat jumlahnya terbatas dan terkontrol, sedangkan permintaan pasar dari luar jauh lebih besar dan terus menerus,” ujar dia.
Pemerintah Jadi Jembatan
Gubernur Papua Mathius Fakhiri menyatakan bahwa pemerintah pusat sudah turun tangan melalui Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan (KSDAE Kemenhut) Satyawan Pudyatmoko yang datang ke Jayapura untuk menyelidiki akar masalah pembakaran mahkota cenderawasih.
“Secara prosedur hukum, langkah BBKSDA memang sudah sesuai aturan. Namun, cara pelaksanaannya dinilai berlebihan dan kurang peka, sehingga membuat masyarakat tersinggung dan marah. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Dirjen yang telah datang langsung ke Papua untuk memberikan klarifikasi sekaligus menyampaikan permohonan maaf secara resmi kepada masyarakat Papua atas insiden pembakaran mahkota cenderawasih yang menyakiti hati banyak orang. Itu langkah yang sangat kami hargai,” jawab dia.
![]() |
| Gubernur Papua Mathius Fakhiri |
Dalam kunjungan Dirjen KSDAE Kemenhut, Fakhiri menyampaikan bahwa pemerintah pusat tak boleh mengandalkan aturan pusat saja dalam mengurus Papua.
“Segala hal yang berkaitan dengan nilai budaya dan adat harus dituangkan dalam Perdasus atau Perdasi. Poin-poin adat yang sudah diserahkan oleh masyarakat adat kepada saya akan segera saya perintahkan Biro Hukum untuk dipelajari dan dituangkan dalam Peraturan Gubernur dalam waktu dekat. Tujuannya agar tradisi turun-temurun yang selama ini hanya berbentuk lisan bisa kita kuatkan dengan aturan tertulis yang diakui negara,” papar dia.
Gubernur Papua yang dilantik pada 8 Oktober 2025 ini berharap, dari kejadian ini mahkota cenderawasih bukan menjadi simbol konflik, tapi menjadi lambang harapan. Sehingga hewan yang dalam frasa Melayu berarti “cahaya yang mengkilau” serta “murni dan suci” ini tetap lestari dan selalu dijaga hingga generasi mendatang.
“Burung cenderawasih itu harus kita lindungi bersama. Kita harus membuat aturan yang jelas untuk menjaga kelestariannya, mencegah kepunahan, dan memastikan tidak ada lagi penangkapan sembarangan. Kita yang punya hutan justru wajib mengembangbiakkannya (melestarikan), supaya anak-cucu kita nanti masih bisa melihat dan mewarisi burung cenderawasih yang indah ini,” tutup Fakhiri.b (Laura Sobuber/Nadaa R | GardaAnimalia)
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Lelemuku.com di Grup Telegram Lelemuku.com. Klik link https://t.me/lelemukucom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.
Lelemuku.com - Cerdaskan Anak Negeri

%20Tanah%20Papua,.jpeg)
.jpg)
,.jpg)
