Netizen Pertanyakan Maksud Dibalik Dukungan Greenpeace dan Freeport di Pestapora
JAKARTA, LELEMUKU.COM – Festival musik Pestapora 2025 yang digelar di Gambir Expo & Hall D2 JIEXPO Kemayoran, Jakarta, pada 5-7 September 2025, menjadi sorotan publik setelah kontroversi sponsor PT Freeport Indonesia memicu gelombang protes dari musisi dan penonton.
Di tengah isu ini, muncul pertanyaan tentang keterlibatan Greenpeace, yang pernah menjadi sponsor Pestapora pada 2023, dan bagaimana hubungan ini kontras dengan kehadiran Freeport, perusahaan tambang yang kerap dikritik karena dampak lingkungan dan hak asasi manusia di Papua.
Kontroversi bermula pada hari pertama festival, Jumat (5/9/2025), ketika sebuah pawai Freeport dengan spanduk bertuliskan “Tembaga Ikutan Berpestapora” dan diiringi marching band muncul di venue, mengejutkan penonton dan musisi.
Hal ini memicu reaksi keras, terutama karena Freeport-McMoRan, yang mengoperasikan tambang Grasberg di Papua, telah lama dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM.
Sejumlah band, seperti Hindia, .Feast, Sukatani, Leipzig, Rebellion Rose, Negatifa, Kelelawar Malam, dan lainnya, langsung menyatakan mundur dari festival sebagai bentuk solidaritas terhadap isu Papua dan kemanusiaan.
Penyelenggara Pestapora, di bawah pimpinan Festival Director Kiki Aulia Ucup, merespons dengan memutus kerja sama dengan Freeport pada Sabtu dini hari (6/9/2025). Dalam pernyataan resmi di Instagram @pestapora, mereka menegaskan bahwa festival pada hari kedua dan ketiga tidak lagi terafiliasi dengan Freeport.
Kiki Ucup juga meminta maaf atas kelalaian ini, menegaskan bahwa tidak ada dana yang diterima dari Freeport dan tidak ada kehadiran perusahaan tersebut dalam acara.
“Segala beban terkait implikasi pemutusan kerja sama ini menjadi tanggung jawab penuh Pestapora,” ujarnya.
Namun, sorotan publik juga tertuju pada kontras antara sponsor Freeport tahun ini dengan Greenpeace pada Pestapora 2023.
Netizen mengecam inkonsistensi ini, mengingat Greenpeace, organisasi lingkungan global, dikenal vokal menentang operasi Freeport, termasuk laporan mereka pada 2013 yang menyebutkan Freeport membuang lebih dari 200.000 ton tailing per hari ke Sungai Otomina dan Aikwa, yang mengalir ke Laut Arafura, mengancam kelestarian lingkungan.
Seorang warganet di X berkomentar, “Dua tahun lalu Greenpeace, sekarang Freeport? Pestapora main dua kaki apa gimana?”
Sejumlah musisi yang mundur menegaskan sikap mereka berpijak pada prinsip kemanusiaan. Hindia dan .Feast, misalnya, menyatakan kekecewaan karena baru mengetahui keterlibatan Freeport pada malam hari usai acara hari pertama.
“Kami patah hati dan marah. Ini soal menjaga apa yang kami percayai,” tulis mereka di Instagram.
Band Rebellion Rose bahkan memilih naik panggung hanya untuk berorasi dan menggelar sesi akustik bersama penggemar sebagai bentuk solidaritas, sembari mengembalikan honor mereka.
Sementara itu, musisi seperti Yacko dan The Panturas tetap tampil, namun berjanji mendonasikan bayaran dan hasil penjualan merchandise ke WALHI untuk mendukung isu lingkungan dan HAM di Papua.
Pihak Freeport sendiri menolak memberikan pernyataan resmi terkait polemik ini. Beberapa pihak menduga kerja sama dengan Freeport awalnya dimaksudkan untuk edukasi tentang manfaat tembaga dalam alat musik dan kelistrikan, namun dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai festival yang mengusung kebersamaan dan inklusivitas.
Ada pula spekulasi bahwa keputusan mendadak ini merupakan strategi branding Pestapora untuk menjaga citra di tengah tekanan publik. (Evu)
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Lelemuku.com di Grup Telegram Lelemuku.com. Klik link https://t.me/lelemukucom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.
Lelemuku.com - Cerdaskan Anak Negeri
